Curug Cilengkrang - Bandung

Curug Cilengkrang berada di kawasan Gunung Manglayang (+1800 m dpl) sebelah timur kota Bandung dan merupakan obyek wisata yang dikelola Perum Perhutani PH Unit 3 Bandung Utara dan masyarakat setempat.

Curug Cilengkrang ini berupa rangkaian air terjun dalam rentang 2 kilometer di sepanjang aliran Sungai Cihampelas. Sungai ini mengikuti alur lembah Gunung Manglayang dari utara ke selatan.

Di kawasan ini setidaknya enam air terjun dengan ketinggian bervariasi, 3-10 meter. Oleh warga setempat, air terjun itu pun diberi nama (berurutan dari hilir), yaitu Curug Batupeti, Curug Papak, Curug Panganten, Curug Kacapi, Curug Dampit dan Curug Leknan. Keenam obyek wisata ini dibilang cukup tersembunyi. Tidak ada penunjuk jalan apa pun yang dipasang di sepanjang jalan menuju lokasi.

Penamaan air terjun berasal dari bentuk bongkahan batu hasil lava karena proses alam dan membentuk air terjun tersebut, seperti Curug Panganten, yang menyerupai kursi pelaminan. Ada pula Curug Papak dengan formasi batuan yang datar dimana permukaannya rata. Juga Curug Batu Peti, demikian dinamakan karena di samping curug ini terdapat bongkahan lava yang mana dua sisinya rata menyerupai peti yang tertutup. Konon peti ini adalah tempat perkakas Sangkuriang untuk membuat perahu.

Di ujung jalan terdapat Curug Dampit yang tak lain adalah dua air terjun berdempetan, mengalir di dinding batu setinggi hampir 1 kilometer. Dari curug ini untuk menuju Curug Papak lebih indah dan dekat menyusuri sungai dari pada naik tebing atau melewati Pos I. Dua tingkat Curug Batupeti, masing-masing setinggi 4 meter bagian bawah dan 2 meter di bagian atas,

, Curug Kacapi, Curug

Leknan,

Memang rangkaian gunung atau bukit di Bandung Utara banyak terpaut dengan legenda Sangkuriang.

Curug Papak terihat lebar dan rata. Untuk meneruskan perjalanan agak licin jika memaksa naik curug ini. Kebetulan perjalanan ini nihil peralatan. Kita harus mendaki bukit setinggi 40 m melalui jalan setapak yang dibuat miring, sehingga mudah untuk sampai ke atas. Dari sini lihatlah ke arahselatan bekas danau Bandung yang kini menjadi kota yang padat. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Kita lanjutkan perjalanan ke arah puncak gunung. Sebelum mencapai Curug Panganten rekan kami membuka batuan yang ada di dasar sungai yang airnya tenang, ternyata ada ikan yang mirip antara kecebong dan lele tetapi yang ini tidak bersungut. Ukurannya 7 hingga 12 cm, sejenis ikan gabus. Ikan ini seperti tidak takut ketika kaki kami masuk ke air, mereka merapat ke dasar sungai yang warnanya hampir sama, kamuflase. Tetapi ketika akan ditangkap mereka langsung pergi menjauh. Begitu pula di Curug Papak yang mempunyai tinggi mencapai 7 meter. Bagian bawah dua air terjun ini menunjukkan lava yang berbongkah-bongkah, cerminan aliran masa lalu yang menggerus bagian dasar aliran. Curug Panganten diperkirakan satu aliran lava yang sama yang membentuk Curug Papak.

Di Curug Panganten atau Pos II selain ikan kami temukan dua ekor katak, mungkin sedang main penganti-pengantinan. Di sini ada dua curug yang berundak atas dan bawah. Kolamnya dapat digunakan untuk berendam dua sampai tiga orang. Dari Curug Panganten menuju Curug Kacapi pepohonan yang tadinya didominasi pohon pinus mulai berganti dengan beraneka ragam tanaman hutan seperti berbagai tanaman perdu, talas dan pisang hutan, bambu, cangkring, jati, caruluk, dan lain-lain. Kami tiba di sebuah dam yang sengaja dibuat dengan tembok. Di sini ada sebuah curug kecil dan kolam yang berisi ikan. Tembok dibuat sampai ke atas tebing yang curam sehingga memudahkan pengunjung untuk pindah dari tebing sebelah timur ke sebelah barat.

Jalan setapak berbelok ke atas tebing yang terjal dan mudah longsor, sebaiknya jangan pilih jalur ini, tetapi memilih turun ke dasar sungai, ini jalan terpendek menuju Curug Kacapi. Pada perjalanan pertama saya memilih mendaki tebing yang sebenarnya menjauhi Curug Kacapi, sehinggga memerlukan perjalanan kedua untuk menuntaskan seluruh curug.

Aliran lava terakhir dan termuda adalah Curug Kacapi dengan tinggi hampir 10 meter. Karena cukup tinggi, pengunjung menyangka penjelajahan hanya berhenti di air terjun ini. Padahal, jika kita sedikit bersusah payah memanjat lereng tegak yang licin, kita akan mendapatkan air terjun terakhir, yaitu Curug Dampit, yang merupakan dinding tegak Gunung Manglayang. Tingginya bisa mencapai 200 meter. Inilah dinding mahkota yang diperkirakan bidang gelinciran longsoran raksasa Gunung Manglayang.

Dalam perjalanan menyusuri sungai ke arah Curug Kacapi kita akan tersiram air yang menetes dari akar-akar pohon di sebelah kanan tebing sungai. Kemudian setelah berbelok ke kanan tampaklah Curug Kacapi yang tingginya 10 meter atau lebih. Jika kita berdiri di depan curug rasanya seperti di dalam kotak. Sementara di atas suara-suara binatang hutan terdengar, selain berbagai kicau burung nun jauh di sana terdengar suara dari jenis primata. Mungkin curug inilah curug terakhir yang dapat dicapai dasarnya dengan mudah oleh pejalan kaki biasa. Untuk mencapai curug kelima dan keenam rasanya tidak mungkin mendaki Curug Kacapi tanpa peralatan. Saran dari penjaga hutan untuk menuju ke Curug Leknan dan Curug Dampit lebih baik dari Pos I kemudian naik ke atas bukit serta mengikuti jalan setapak ke arah puncak Gunung Manglayang.

Kami berpikir dari pada berjalan mundur dan naik bukit untuk ke curug berikutnya akan makan waktu dan tenaga. Kami mencari tebing yang dapat didaki. Untunglah lima belas meter dari curug sebelah kanan ada tebing dengan batuan yang menonjol di sana sini. Walaupun belum pernah latihan panjat tebing kami mencoba menaikinya dengan terlebih dulu mencopot sandal gunung. Akhirnya tebing setinggi tiga meter dapat dilalui dengan merayap mirip laba-laba. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke arah puncak gunung. Waduh ternyata ada panjat tebing lagi, tetapi lebih ringan dari sebelumnya.

Sesampainya di tanah yang lapang ada pohon tumbang yang melintang di tengah. Jalan setapak selanjutnya bercabang (cagak), ke kanan terus maju ke arah hulu menuju Curug Leknan dan yang ke kiri melintasi sungai menuju Curug Dampit. Kedua curug berada di aliran sungai yang berbeda yang kemudian menyatu. Akhirnya kami mencapai tempat di atas Curug Leknan. Sulit untuk mencapai curug atau dasar curug. Pohon dan tanaman perdu sangat rapat, bahkan putri malu pun ada yang tidak lagi malu walau tersentuh. Menuju curug ini harus konsentrasi penuh karena jalan setapak diapit tebing dan jurang yang dalam. Menurut Pak Sujana petugas dari Perhutani Curug Leknan dinamakan demikian karena dulu tahun 1953 pernah ada kecelakaan pesawat terbang di legok ini dan pilotnya berpangkat letnan orang Sunda melafalkannya “leknan”, demikian cerita yang diterima dari ayahnya. Saya juga menanyakan mengenai hal ini kepada orang tua, beliau pernah mendengar peristiwa tersebut hanya tahun kejadiannya lupa.

Untuk menuju Curug Dampit harus kembali lagi ke jalan cagak tadi dan mengambil jalan setapak yang menyeberangi sungai. Kita akan menemukan sebuah batu besar di tepi sungai yang terbelah dan belahannya ada di dasar sungai, mirip kentang yang dibelah. Kata “dampit” artinya berimpit, sudah terbayang kan seperti apa curugnya? Air merambat pada tebing yang tegak lurus dari puncak gunung lebih dari 100 m tingginya. Konon bila cuaca cerah setelah hujan reda dan debit air masih besar, maka Curug Dampit dapat dilihat dari arah Jl. Soekarno-Hatta antara Gedebage dan Cibiru. Dari sini memang pandangan ke arah G. Manglayang di utara tak terhalang, belum banyak bangunan tinggi.

Pak Sujana mengatakan kepada saya bahwa kawasan wisata ini baru dibuka tahun 2003. Jarak dari curug pertama hingga terakhir kira-kira 2,5 km. Binatang yang mungkin ditemui di kawasan ini a.l. berbagai jenis burung, meong, monyet, bagong, ular, ikan, dan bermacam-macam serangga. Beliau sering menerima mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang melakukan penelitian di kawasan hutan lindung ini. Untuk rombongan yang mengadakan kegiatan luar ruangan dapat menyewa beberapa bangunan luas (penduduk menyebutnya vila) yang terdapat beberapa ratus meter dari gerbang dan dapat menampung puluhan orang.

Ada juga Curug Kacapi, yang konon, setiap malam Senin, suaranya seperti

dentingan kecapi. Dinamai Curug Leknan, karena lembah ini merupakan

lokasi jatuhnya pesawat udara pada tahun 1953 dengan pilot berpangkat

letnan. Masyarakat menyebut letnan dengan lafal leknan, sehingga lembah

itu disebut Legok Leknan, dan air terjunnya Curug Leknan.

Di kiri kanan dasar lembah yang dialiri sungai ini juga terdapat dinding

lava yang tebal. Ujung, sekaligus mata air Ci Hampelas adalah Curug

Dampit yang menempel di dinding vertikal berbentuk tapal kuda. Puncak

tertinggi dari gawir itu adalah puncak Gunung Manglayang. Saat kunjungan

Minggu (21/6), curug ini terlihat sekadar basah, sudah tak ada curug.

Dinamai Curug Dampit karena pada mulanya berupa air terjun kembar atau

dempet, yang berubah menjadi dampit. Lava sepanjang lebih dari 2 km di

Ci Hampelas, Cilengkrang ini baik bila dijadikan laboratorium alam,

menjadi sumber belajar bagi para siswa, dan wisatabumi bagi masyarakat,

berolah raga sambil mengenal alam.

Dari Curug Dampit, perjalanan dilanjutkan meniti lereng curam ke arah

selatan. Tebing vertikal ini seharusnya sejak awal sudah ditetapkan

sebagai kawasan lindung. Namun, di jalur yang dilalui, kayu alaminya

terlihat kesepian. Banyak tunggul yang sudah melapuk, ini pertanda

kawasan securam ini pernah ditebangi kayu alaminya. Di kelelahan itu

saya terhibur karena melihat pohon burahol (Stelechocarpus burahol HOOK)

sedang berbunga.

Lokasi

Terletak di Desa Cilengkrang, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat.

Peta dan JKoordinat GPS:

Aksesbilitas

Berjarak 10 km dari Kota Bandung. Salah satu jalan yang bisa diambil untuk mencapai Curug Cilengkrang adalah dari arah jalan A. H Nasution di Km 12 sebelah timur alun-alun Kecamatan Ujung Berung Bandung. Kemudian masuk ke kalan Cilengkrang I. Dari ujung jalan tersebut, pengunjung harus menempuh jarak sekitar 10 kilometer untuk mencapai pintu masuk menuju air terjun. Sepanjang 7 kilometer pertama adalah dari ujung jalan hingga Kantor Desa Cilengkrang, ditambah 3 kilometer berikutnya untuk mencapai pintu masuk.

Kondisi aspal jalan relatif baik. Hanya, selepas melewati Kantor Desa Cilengkrang, hanya ada jalanan berbatu (koral) menuju pintu masuk. Kendaraan roda empat bakal kesulitan melalui jalan berbatu kecuali mobil dengan gardan ganda.

Bagi yang menggunakan kendaraan umum dapat naik ojek (yang mangkal di Jalan Cilengkrang I di Jalan AH Nasution) dengan ongkos Rp 8000 hingga Kantor Desa Cilengkrang.

Selanjutnya untuk mencapai ke enam curug ini harus melewati jalan setapak menyusuri sungai, bahkan harus melintasi badan sunga dan mendaki bukiti demi mencapai air terjun yang letaknya jauh di dalam hutan.

Jarak tempuh ke Curug Batu Peti sekitar 100 m dari pintu masuk.

Tiket dan Parkir

Tiket masuk adalah Rp 3000/orang

Fasilitas dan Akomodasi

Tersedia area perkemahan, juga warung-warung yang menjual makanan tetapi hanya buka pada akhir pekan atau masa liburan. Ada baiknya membawa bekal makanan dan minuman saat berkunjung.

Sumber :

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/31/11584552/Pesona.di.Kaki.Gunung.Manglayang.

http://asep-bandung.blogspot.com/2009/05/curug-cilengkrang-bandung.html

http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=55

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=83821