Curug Aleh - Bandung

Curug Aleh adalah nama sebuah air terjun di kawasan Sarijadi Bandung. Curug ini dikenal angker. Banyak cerita mistik dipetik dari lokasi ini. Selain itu curug ini kerap dijadikan arena ajang ngalap ilmu.

Tak banyak yang mengetahui keberadaan curug ini hal ini dikarenakan lokasinya berada di kawasan hak milik orang lain. Meski begitu, kawasan air terjun Curug Aleh tidak tertutup untuk umum. Siapapun boleh masuk ke kawasan yang kini menjadi milik perupa Nyoman Nuarta itu. Hanya saja, orang tidak bisa dengan bebas keluar masuk kawasan ini. Apalagi sejak beberapa tahun ke belakang, di sekitar curug ini menjadi bengkel pembuatan patung raksasa Garuda Wisnu Kencana. Patung inilah yang kemudian berdiri dengan megahnya di Pulau Dewata Bali.

Hulu aliran air terjun ini berasal dari kaki Gunung Tangkuban Parahu di Lembang dan mengalir membentuk aliran sungai Cibeureum. Uniknya, walaupun terjadi krisis air akibat kemarau panjang, curug ini tak pernah kering. Ketinggian curug ini sekitar 7-10 m dengan kedalaman sungainya bekisar 70-100 cm

Legenda

Sebutan Aleh, diambil dari nama seorang tokoh di sana pada zaman dulu. Ia mati saat bertapa di curug itu. Jasadnya tak pernah ditemukan. Konon, tokoh sakti itu diambil penghuni keraton gaib yang ada di sekitar Curug.

Adanya keraton gaib itu, tak lepas dari kisah seorang lelaki bernama Aleh. Dia adalah tokoh Sarijadi yang dikenal memiliki kesaktian. Hobinya berkelana memperdalam ilmu kebatinan. Suatu ketika, Aleh bertapa di sekitar curug. Banyak orang di sekitar curug yang tahu perbuatan Aleh bertapa. Namun sampai sekian waktu, Aleh tak pernah terlihat lagi di kampung. Bahkan keluarganya pun tidak tahu keberadaan Aleh.

Warga Sarijadi ketika itu berupaya mencari Aleh kalau-kalau ia terjatuh ke dasar curug. Namun sampai berhari-hari lamanya, Aleh tak ditemukan. Sampai-sampai pihak keluarga dan masyarakat menyatakan Aleh telah hilang. Sejak itulah muncul desas-desus bila tubuh Aleh diambil oleh penghuni keraton gaib di sana.

Lokasi

Terletak di perbatasan antara kota Bandung dengan kabupaten Bnadung tepatnya di Desa Sarijadi, Kecamatan Sukasari, Kotamadya Kota Bandung, Jawa Barat.

Peta dan koordinat GPS: 6° 52' 36.30" S 107° 34' 26.42" E

Aksesbilitas

Akses jalan ke Curug Aleh ada dua yaitu Jalan Sarimanah II (ke arah kanan) dan Jalan Sariasih I (ke arah kiri). Nah, maksud ke arah kanan dan ke arah kiri ini, saat ini dikenal sebagai Jalan Tirtasari. Sebelum sampai di tempat yang dituju (tempat berenang), kami sering kali membasuh muka di seke atau cinyusu. Ya, mata air begitulah. Saat itu, sekenya sudah ditembok, jadi bukan berupa tanah lagi, tetapi airnya masih tetap mengalir. Wuih, dingin, suegeeerrr. Segar gitu loh.

Kalau anda sekarang ini pernah melintasi Jalan (Terusan) Sariasih I, pada saat itu akses jalan menuju Setraduta dan Politeknik ITB (kini Politeknik Negeri Bandung) belum ada. Jembatan yang tepat berada di dekat SLB pun sebenarnya belum ada. Jembatan (yang saat itu masih tanpa pagar) itu mulai dibangun ketika SLB berdiri (dan Setraduta serta jalan menuju Politeknik ITB belum ada. Yang ada hanya Politeknik ITB-nya saja dan mahasiswanya masih memakai Jalan Terusan Gegerkalong Hilir. Malah angkotnya masih menggunakan Gegerkalong-Ciwaruga karena Gegerkalong-Polban baru ada belakangan).

Kembali ke cerita Curug Aleh. Di Curug Aleh inilah terdapat penambangan batu (kini sudah berhenti). Mau bukti? Lihatlah di belakang TK/SD Al Azhar di Jalan Tirtasari III No. 1 Bandung. Di atasnya ada perumahan, bukan? Nah, di bawah perumahan itu terdapat gunung batu.

Meskipun tidak selalu berenang di bawah guyuran air terjun (Curug Aleh), kami selalu menyebutnya Curug Aleh. Air sungainya pun masih jernih, kecuali jika banjir bandang maka airnya menjadi kecoklatan.

Setidaknya, ada empat lokasi favorit untuk berenang di kawasan ini. (Sayang, sekarang lokasinya tertutup oleh perumahan). Pertama, tepat di bawah air terjun (Curug Aleh). Kedua, sekarang mengarah lurus di belakang TK/SD Al Azhar dan perumahan. Ketiga, sekarang mengarah lurus di Jalan Tirtasari III. Keempat, tepat di samping kanan jembatan jika kita mau mengarah ke Politeknik Negeri Bandung. (Seperti ditulis tadi, saat itu, Setraduta, SLB, dan jembatan, termasuk akses jalan raya menuju Politeknik ITB belum dibangun. Jadi, keadaan masih sepi dan air sungai belum terganggu polusi. Jadi, ceritanya, yang dibangun terlebih dahulu itu SLB bersama jembatannya, Sertaduta, dan lalu akses jalan menuju Politeknik ITB).

Sebetulnya, ada satu tempat lagi yang lebih “elite” yaitu di kawasan Politeknik ITB (kini telah menjadi Masjid Lukman Nul Hakim). “Kolam renang” itu merupakan danau atau tempat penampungan air saja. Saat itu kan beberapa gedung Politeknik ITB sedang dibangun. Akses jalan menuju ke tempat ini masih berupa sisi “bukit” (kalau sekarang, pagar benteng). Nah, di bawahnya adalah akses jalan aspal yang kita kenal atau lewati sekarang. Saat itu, jalan aspal ini masih berupa perkebunan. Saya masih ingat ketika saya dan teman-teman masih nakal-nakalnya tidak jarang “mengganggu” tanaman di perkebunan itu meskipun hanya secuil. Ya, petik-petik daunlah. Tidak banyak, hanya satu atau dua he he he.

Kembali lagi ke cerita Curug Aleh. Saat itu daerah ini pun merupakan perlintasan jika kita mau ke Kampung Cianting (untuk memancing) dan Politeknik ITB (untuk berenang). Selain itu, ada kalanya kita pun membawa makanan untuk botram (makan bersama). Ada satu suasana lagi yang khas: suara mobil truk yang sedang membawa batu yang ditambang di penambangan batu. Truk-truk pengangkut batu itu sering kali melewati Jalan Sarimanah II.

Dalam perkembangannya, di kawasan Curug Aleh dibangun perumahan (Jalan Tirtasari; Jalan Tirtasari I, II, dan III; Jalan Tirtasari Selatan). Namun, sepengetahuan saya, jauh sebelum itu (malah ketika era Curug Aleh “berjaya”), di kawasan ini telah dibangun fondasi-fondasinya. Sayang, sebelum didirikan bangunan, fondasi-fondasi itu tertutupi rumput-rumput liar. Di kawasan yang sekarang dibangun TK/SD Al Azhar inilah saya dan teman-teman bermain rumah-rumahan dari tanah (suasananya seperti rumah-rumahan dari pasir ketika bermain di pantai). Saat itu, di daerah ini terdapat air jernih yang mengalir sehingga selain tangan-tangan kami tetap bersih (karena dicuci), juga aliran air itu dijadikan miniatur bendungan (aliran air yang dibendung). Kami biasa bermain rumah-rumahan atau bendung-bendungan itu, baik sebelum maupun setelah berenang.

Tidak lupa, kalau digambarkan sekarang, melalui tanah yang sekarang ditempati TK/SD Al Azhar itu pula, kami biasa menaiki gunung batu (seperti dalam keadaan mendaki tebing), baik sebelum maupun setelah pergi berenang di Curug Aleh. Saya pun masih ingat bahwa ada kalanya di tempat ini dipakai oleh para pendaki tebing.

Kini, selain perumahan warga, di kawasan Curug Aleh ini berdiri TK/SD Al Azhar (sebelumnya “Sari Aleh” Tennis Court) dan Bengkel NuArt. Perihal Bengkel NuArt ini, sebetulnya saya memiliki ikatan emosional dengan sebagian pekerjanya. Maksudnya, sebagian pekerjanya (yang orang Bali) pernah mengontrak rumah di sebelah rumah saya dan sekitarnya. Mereka merasa dekat dengan keluarga saya. Keluarga saya masih terkesan dengan suara-suara “ramai” ketika rombongan pekerja pada pagi hari (pergi untuk bekerja), siang (istirahat), dan sore (pulang). Saat itu, mereka sedang membuat patung Jalesveva Jayamahe (Di Laut Kita Jaya) yang kini berdiri tegak di Tanjung Perak, kota Surabaya. Oh ya, saking dekatnya, orang-orang Bali itu menjadi kekuatan tim bola voli RT saya dalam acara Agustusan. Mereka pun juara!

Share this: